Posted by: Hartoto | 10/16/2009

Catatan buat PGRI Sulsel

Umar Ibsal – Konferensi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) wilayah Sulawesi Selatan telah berlangsung hingga Jumat (17/7) kemarin. Dari hasil konferensi tersebut, tentunya menghasilkan beberapa rekomendasi yang harus segera dilaksanakan oleh pengurus PGRI dalam menjalani masa baktinya hingga tahun 2014. Sebelum kita membahas mengenai apa saja yang seharusnya digagas dan dilakukan oleh PGRI, terlebih dahulu kita menengok sejarah terbentuknya organisasi guru.

Sejarah Organisasi Guru

Pembentukan organisasi guru dimulai dari Inggris bermula ketika tarjadi revolusi Industri pada abad ke XVII dimana untuk menjamin hak-hak kaum buruh (guru) dari kemungkinan tindak kesewenang-wenangan kaum majikan dan bahkan rejim yang berkuasa pada waktu itu.  Melihat efektifitas dan efisiensi organisasi buruh inilah negara-negara lain kemudian mengikutinya sehingga kini hampir semua negara memiliki sedikitnya satu organisasi guru di seluruh dunia. Perkembangan organisasi guru di berbagai negara mengusahakan adanya kerja sama masing-masing organisasi yang pada tahun 1952 berhasil membentuk sebuah organisasi guru se dunia dengan nama World Confederation of Organization of Teaching Profession (WCOTP) yang didirikan di Copenhagen, Denmark.

Tujuannya adalah menghimpun guru dari semua tingkatan pendidikan, di dalam tingkatan pendidikan, di dalam suatu organisasi yang kuat dengan maksud agar mereka dapat menjalankan pengaruh yang sejalan dengan pentingnya fungsi sosial mereka yang meliputi penggalakan konsepsi pendidikan, menyempurnakan metode mengajar, membela hak-hak dan kepentingan moril dan materil profesi guru serta meningkatkan hubungan yang lebih erat di antara kaum guru di berbagai negara.

Indonesia juga mempunyai organisasi guru yang disebut Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). PGRI merupakan organisasi yang menghimpun para guru di seluruh indonesia yang dibentuk pada 25 November 1945 yang kemudian dijadikan sebagai hari guru nasional. Dalam pembentukannya, PGRI membawa asas yang bersifat nasionalisme, profesionalisme dan unitaris. Pada Pasal 1 ayat 6 PP No. 74 tentang Guru, Organisasi Profesi Guru adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh Guru untuk mengembangkan profesionalitas Guru.

Jika menengok sejarah pembentukan organisasi guru di Indonesia dan di dunia, kita dapat melihat bahwa tujuan pembentukan organisasi ini adalah bermuara pada peningkatan profesionalisme guru yang pada akhirnya akan menjadi modal (capital) dalam meningkatkan rasa nasionalisme bangsa indonesia.

Problem Anggota PGRI

Namun jika melihat realita yang terjadi sejak didirikannya organisasi guru ini, tujuan-tujuan di atas masih jauh panggang dari api. Di berbagai media cetak maupun elektronik, kita dapat melihat begitu banyak kasus-kasus yang melibatkan guru dimana PGRI tidak berada di sana untuk membela anggotanya. Keterlambatan pembayaran tunjangan profesi guru di Sulawesi Selatan  seharusnya diadvokasi oleh PGRI sebagai organisasi yang menampung dan menyalurkan aspirasi anggotanya. Termasuk pula advokasi bagi guru kontrak dan guru honor yang upahnya masih berada di bawah Upah Minimun Regional (UMR).

Kita masih ingat aksi para guru honorer menuntut kesejahteraannya dengan berunjuk rasa di Gedung DPRD Sulawesi Selatan. Mereka menuntut persamaan hak dengan guru PNS. Setiap bulannya mereka hanya mendapat gaji tidak lebih dari Rp 300 ribu rupiah. Sekadar diketahui, jumlah guru honorer di Provinsi Sulsel mencapai 35 ribu orang. Sebanyak 4 ribu di antaranya berada di Makassar. (detiknews, 2007)
Perjuangan guru honorer serta Guru Tidak Tetap masih panjang untuk bisa menikmati janji-janji UU Guru dan Dosen. Meskipun pada tahun 2009, pemerintah berencana akan mengangkat mereka sebagai CPNS. Dengan kesejahteraan yang amat minim, ketidakpastian pekerjaan dan beban biaya hidup kian berat, mungkinkan kita menuntut para guru untuk menjadi sumber inspirasi pengembangan diri bagi murid-muridnya?

Membincang mengenai problematika pendidikan di negeri ini, khususnya guru memang tak ada habisnya. PGRI sebagai organisasi guru terbesar dan tertua di Indonesia seharusnya mengambil peran penting dalam melakukan inventarisasi permasalahan yang dihadapi oleh guru. Permasalahan yang saya urai di atas hanya secuil diantara banyaknya masalah yang dihadapi oleh guru seperti yang pernah diungkapkan oleh Prof, Arismunandar dalam desertasinya yang mengatakan bahwa 30,27 persen atau sekitar 24 ribu guru di Sulsel mengalami stress. Stress tersebut tentunya distimulus dari banyaknya masalah yang dihadapi oleh guru dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Termasuk banyaknya potongan gaji yang harus mereka terima seperti potongan uang arisan, potongan uang PGRI, potongan asuransi, serta potongan-potongan lain.

Peran Politik Guru

Melihat realitas tersebut, sudah sepatutnya PGRI kembali ke khittahnya sebagai organisasi perjuangan aspirasi serta pemersatu guru. Masih ada guru yang upahnya lebih rendah dari buruh yang tidak tamat SD sekalipun. Perjuangan untuk menyalurkan aspirasi guru harus lebih intensif kepada pemerintah sebagai pengambil kebijakan (decision maker). Mungkin sudah saatnya kita memilih pemimpin atau legislator dari kalangan guru yang pernah merasakan pahitnya menjadi guru sehingga nuraninya dapat memperjuangkan ketidakadilan yang sering dialaminya. Bahkan  Ketua Umum PB PGRI ketika  baru terpilih pada Kongres XX PGRI, 1-4 Juli 2008, di Palembang, Dr Sulistiyo MPd, menyerukan agar organisasi ini turut bermain di arena politk praktis untuk menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi guru. Meski ada aturan menteri Pendayagunan Aparatur Negara bahwa Guru PNS tidak  boleh “terjun” ke ranah politik praktis. Jangan sampai status PGRI saat ini seperti yang pernah diungkapkan oleh Hadi supeno bukunya “pendidikan dalam belenggu kekuasaan” yang menyatakan bahwa PGRI penyalur aspirasi atau hanya kepanjangan tangan birokrasi?

Penulis adalah Dewan Pendamping Lembaga Penelitian Mahasiswa (LPM) Penalaran Universitas Negeri Makassar

Download Lengkap : CATATAN BUAT PGRI SULSEL


Leave a comment

Categories